Sunday, April 01, 2007 

Otak Reptil, Suporter Blogger dan Sepakbola Indonesia




Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com


Dunia mistik sepakbola. Dalam final Africa Champions Cup 1995, klub Orlando Pirates asal Soweto, Afrika Selatan, di kandang sendiri ditahan 2-2 oleh klub ASEC Mimosa asal Abidjan, Pantai Gading.

Beberapa hari sebelum melakukan pertandingan tandang leg kedua di Abidjan, Pantai Gading, para pemain Orlando Pirates diharuskan berendam dalam cairan khusus yang disiapkan oleh muti, dukun sakti setempat. Di stadion mereka pun harus keluar masuk kamar ganti melalui jalur yang dipandu oleh muti bersangkutan. Mereka harus selalu lewat jalur kiri untuk menghindari pengaruh sihir tertentu.

Graeme Friedman dalam tulisannya di www.footballculture.net (3/2002, “sayang situs ini sudah berhenti” - BH) menyebutkan betapa final tersebut sebagai pertandingan berat sebelah yang sangat bersejarah untuk persepakbolaan Afrika. Sebab kubu Orlando Pirates terus digerojok ancaman gol demi gol dari tuan rumah, ASEC Mimosa. Tetapi tembakan yang bak banjir itu kalau tidak melebar, menerpa tiang, atau diselamatkan oleh kiper Orlando secara gemilang.

Dua puluh menit sebelum bubaran, satu-satunya pemain Orlando yang tidak ikut menumpuk di pertahanannya, Jerry Sikhosana, dapat bola. Ia dikawal ketat dua bek ASEC Mimosa, tapi keduanya malah bertabrakan sendiri. Jerry pun menciptakan gol.

Kemenangan yang aneh.
”It was such a ridiculous victory !”

Begitulah komentar Friedman. Tak ada penjelasan lain, katanya, kecuali bahwa muti tim Orlando Pirates telah menunjukkan kesaktiannya. Lucas Radebe, mantan kapten tim nasional Afrika Selatan dan pernah bermain untuk Leeds United yang berlatar belakang Kristen, tidak serta merta menolak adanya praktek perdukunan di arena sepakbola negerinya. “Ritus tersebut bagian dari tradisi kami”, ujar Radebe.

Campur tangan dukun dalam sepakbola kita pun, sering jadi cerita asyik. Tetapi di Semarang, seorang wartawan mengalami nasib menyedihkan gara-gara kerumunan suporter menuduhnya ramai-ramai sebagai dukun. Menurut berita Solopos (11/4/2003), saat itu PSIS Semarang melawan tamunya Semen Padang, pada menit ke-87 terjadilah gara-gara itu.

Saat itu PSIS mendapat hadiah penalti karena pemain belakang Semen Padang memegang bola di daerah terlarang. Bola yang kebetulan di luar lapangan dipermainkan oleh Zatako, wartawan sepuh dari Harian Pelita. Hal ini membuat Panser Biru yang mangkal di belakang gawang Semen Padang berang.

Peristiwa meledak kemudian ketika akhirnya PSIS kalah 1-2 dari tamunya. Lebih parah lagi ketika penonton yang marah meneriakkan kata-kata berapi dan beracun bahwa Zatako adalah “dukun” sekaligus penyebab keoknya tim berjuluk Mahesa Djenar itu. Ia pun, tak ayal, menjadi korban amukan penonton. Bahkan kartu identitas wartawan asal Medan yang tergantung di dada juga direbut secara paksa.


Otak Cucak Rowo. Isu seputar perdukunan dan hal-hal mistis dalam sepakbola kita pernah ditanyakan oleh Hendry, wartawan majalah sepakbola Four-Four Two, kepada saya. Majalah ini, yang edisi aslinya berbahasa Inggris, merupakan salah satu majalah sepakbola favorit saya. Saya pernah membacanya di Perpustakaan British Council di Jakarta. Untuk pertanyaannya, saya harus minta maaf karena saya memang tidak mengetahui seluk-beluk mengenai dunia mistis dalam tersebut.

Tetapi bercermin dari pengeroyokan wartawan yang dituding secara beramai-ramai di atas, bagi saya, menunjukkan hal penting lain. Ketika berada dalam kerumunan, kita sebagai suporter sepakbola memang mudah untuk tergelincir kehilangan nalar alias akal sehat. Diri kita mengalami de-inviduasi, menyusutnya kesadaran diri yang selanjutnya mengurangi kendali diri, sehingga sangat mudah dipengaruhi dan terpancing untuk bertindak di luar kemauan kita sendiri. Dalam kondisi seperti itu, mobilisasi dan komando seseorang akan sangat mudah diikuti massa.

Hal kronis bagi suporter sepakbola Indonesia itu, kembali marak. Koran-koran akhir-akhir ini kembali menyajikan gambar-gambar kerusuhan suporter sepakbola kita. Misalnya, suporter Persita yang bentrok dengan pendukung tim Maung Bandung di Tangerang. Kemudian pendukung tim Persikabo asal Bogor berperang melawan anak-anak pendukung Ismed Sofyan dkk., The Jakmania.

Menurut pakar pemasaran Herman Kartajaya yang mengutip pakar mind body medicine, Deepak Chopra MD, kerumunan suporter yang bertindak tidak rasional di atas karena yang dominan bekerja di kepalanya saat itu adalah reptilian brain, otak reptilnya.

Menurut kajian Chopra, perkembangan otak manusia sejak 200 juta tahun lalu menunjukkan bahwa manusia hanya memiliki otak reptil, otak pre-verbal yang mengatur hal-hal dasar serta instink kita.Kemudian sekitar 60 juta tahun lalu, mulailah berkembang limbic brain, otak emosional. Akhirnya di masa modern ini manusia memiliki neocortex brain, otak rasional yang membuat kita dapat berpikir logis.

Herman Kartajaya dalam artikelnya di Jawapos (5/1/2004) tersebut menjelaskan bahwa ketiga jenis otak tersebut berada dalam diri kita. Kalau Anda ngebut di jalanan, itu menunjukkan otak reptil, otak yang paling primitif yang sedang bekerja. Bila kita merasa geli mendengar lagu Cucak Rowo, itu menunjukkan otak emosional kita yang sedang beraksi.

Lagu Cucak Rowo beberapa waktu lalu sering dinyanyikan oleh kerumunan suporter sepakbola kita. Baik di Solo, Malang, Surabaya, sampai di Kediri pula. Gerakan suporter sepakbola yang kreatif, atraktif dan cinta damai yang dipelopori oleh Aremania yang mencuat pada tahun 2000, yaitu melakukan konser lagu dan koreografi di stadion-stadion sepakbola kita di mana saya beruntung bisa menambah kaya gagasan itu dan mendokumentasikannya dalam bentuk penghargaan Honda’s The Power of Dreams Award 2002, kini saatnya harus direvitalisasi lagi.


Swa Edukasi Suporter Kita. Caranya, menurut saya, adalah dengan cara yang itu-itu juga : mendidik rekan-rekan suporter sepakbola kita. Simaklah pendapat seorang Hugh McDiarmid, bahwa "Football fanaticism and high intellect seldom go together". Fanatisme sepakbola dan intelektualitas yang tinggi jarang bisa berjalan bersama.

Dengan pendidikan, swaedukasi, diri suporter mendidik suporter lainnya, diajak mengekspresikan kecintaan terhadap timnya sampai rasa kebenciannya terhadap klub lawan atau bahkan terhadap suporternya, dengan cara-cara yang tidak destruktif. Dengan tidak menggunakan otak reptil mereka, tetapi menggunakan otak emosional dan logisnya.

Fanatisme buta semacam itu sudah banyak makan korban. Membuat negeri kita ini memang pantas dicap sebagai sarang teroris. Teroris itu berseragam, jumlahnya banyak, legal berkumpul-kumpul di stadion, dan dibolehkan mengamuk dan merusak apa saja ketika bertemu kelompok lawan. Itulah potret diri kita : suporter sepakbola Indonesia. Anak Jakarta asal Jatiwaringin tetapi sebagai suporter PSP Padang, Beri Mardias, yang terbunuh karena dikeroyok di pelataran stadion Senayan, peristiwanya harus tidak dilupakan dan harus pula tidak terulang lagi.

Untuk maksud swaedukasi di atas, dalam artikel yang lalu saya memimpikan semua suporter sepakbola memiliki blog. Limpahkan agresivitas atau pun kecintaan Anda dengan media digital ini, yang gratisan ini, hingga suara Anda bisa merangkul dunia.

Bagi sahabat-sahabat kelompok suporter sepakbola yang telah maju, bahkan banyak yang jauh lebih maju dibanding saya (seperti Agus Rakhmat dari Viking Jabotabek sampai Rudi Permadi di Aremania) dalam pengusaan seluk-beluk publikasi situs di Internet, tularkan ilmu dan otensi hebat Anda itu kepada semua rekan-rekan Anda.

Sekadar refleksi, dan sama sekali tidak berniat untuk memajokkan, saya pernah menulis sentilan ketika menulis untuk majalah Freekick mengenai situs sobat-sobat saya Slemania. Petikannya :

“Situs web Slemania (www.slemania.or.id) awalnya dibangun oleh dua mahasiswa Teknik Elektro UGM anggota Slemania Caboel (Cabang Boelaksumur), yaitu Yudho Wasono (almarhum) dan Oggy Sigit Purnawan. Anggota komunitas maya Slemania ini segera tersebar di berbagai kota seperti Cilegon, Jakarta, Makasar, Surabaya, sampai Banjarmasin. Warga maya Slemania ini biasa berinteraksi melalui chatting, mailinglist dan tentu saja, web Slemania

Situs web Slemania yang cantik itu digawangi oleh Feri Istanto, Kusuma Kinanti, Susilo Nugroho, Hajar Pamundi, Ferry Wiharsastro, Sri Sutarto, M Wildan Firdausy, Joko Cahyono, Dimas W dan juga Cornelis Agung Aryanto.

Sayang sedikit, dewasa ini situs tersebut serasa kekurangan darah kreatif baru untuk mengolah isinya. Para pengelola itu pantas bangkit memperkuat lagi otot kekuatan situs web Slemania agar lebih bertenaga dibanding saat ini, yang seperti dikelola asal jalan dan seadanya. Akibatnya, tandon gagasan dan buah pikir intelektual insan-insan pencinta sepakbola yang kaya dari UGM dan kampus-kampus yang ada di Sleman, belum banyak tergali atau dibiarkan terbengkalai karena kemiskinan visi. “

Sementara itu, di kolom komentar blog ini, rekan saya dari Pasoepati Jakarta, Ryan Adhianto telah berkali-kali mempromosikan komunitas maya suporter sepakbola Indonesia, yaitu Cornel, yang dibidani bersama Panji Kartiko, bersama personil suporter sepakbola di luar Pasoepati yang tinggal di Jabodetabek. Langkah positif yang signifikan. Kita tunggu kiprah nyata Cornel di masa depan, dan saya ikut mendukung bila rumor ini benar bahwa Cornel ingin mengakuisisi (“sugih tenan, rek..”) situs Liga Indonesia.


Supporter-Joker-Blogger. Sekarang cerita dari Wonogiri, kota saya. Akhir-akhir ini saya benar-benar terputus dari dunia sepakbola. Karena saya tidak memiliki pesawat televisi. Sehingga kalau nanti malam (3/4/2007) ada pertandingan perempat final Liga Champions antara tim favorit saya Bayern Muenchen vs AC Milan (“di kota mana ?”), saya belum memutuskan untuk mencoba menonton di mana. Atau hanya menantikan hasilnya, esok harinya, saat jalan kaki pagi dengan mendengarkan siaran BBC.

Merujuk hal di atas, membuat saya juga tidak tahu hasil-hasil mutakhir pertandingan Persis Solo. Dulu, ketika tahun 2000 di di Solo hadir “tim elit yang suka kelayapan cari kota yang ada uangnya,” Pelita Solo, saya ikut berkiprah dalam Pasoepati. Tahun 2001, ikut serta sedikit, sedikit sekali, dalam memuluskan tim Persijatim Jakarta Timur berpindah homebase di Solo.

Saat itu saya tinggal di Jakarta, banyak ngobrol sama Agus Gigi Yulianto (Pasoepati Jakarta) pula. Bahkan sempat iuran gagasan, kemudian tiba-tiba diangkat walau tanpa diajak ikut rapat, sebagai Sekretaris Jenderal ASSI (Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia). Lalu muncul skandal korupsi Robert Manurung, orang yang semula tak dikenal tapi “dicangkokkan” sebagai oportunis di tubuh ASSI. Skandal itu, saya tahu, hanya menunjukkan jalan gelap bahwa organisasi seperti itu nasibnya tinggal menghitung hari. Dalam organisasi, faktor trust, kepercayaan, adalah inti eksistensinya. Ketika itu hilang, maka jadilah layu sebelum berkembang. Tidak ada cinta lagi yang bisa tumbuh di sana.




Sepakbola adalah masalah cinta. Juga passion. Gairah. Lihat dan resapi foto di atas. Sepakbola adalah pula latihan terbaik bagi manusia untuk mengasah fisik dan moralnya, hingga siap mengarungi semua permainan kehidupan. Itulah kesimpulan seorang pendiri pandu sedunia, Robert Baden Powell. Simak sabda komplitnya :

"Football is a grand game for developing a lad physically and also morally, for he learns to play with good temper and unselfishness, to play in his place, and to play the game, and these are the best of training for any game of life."

Sayang, hal yang sangat-sangat berharga ini di Indonesia “diserahkan” kepada pabrik-pabrik rokok besar untuk mengelolanya. Cinta kita sampai passion kita, kita serahkan bulat-bulat, kita menyerah untuk mereka “bajak” demi mengubah kita-kita semua untuk menjadi konsumen benda-benda produknya yang merugikan kesehatan di masa depan itu. Kita pun, para suporter, nampak hanya bernasib sebagai useful idiots, menerimanya begitu saja, bahkan tidak terdengar tinjauan kritis tentang hal itu sebagai bagian potret besar yang buram dari dunia sepakbola kita.

Maka, sekali lagi, setiap suporter idealnya harus pula seorang blogger. Saya sendiri bangga menyebut sebagai supporter-joker-blogger di Indonesia !. Ikutilah langkah saya. Di media egaliter itu, Anda semua bebas untuk angkat bicara. Lupakan, tak usah berharap banyak dari media-media cetak. Karena kolomnya terbatas. Mereka juga tidak mempunyai apresiasi tinggi terhadap suporter. Kita hanya pantas dianggap sebagai himpunan eyeballs, konsumen. Milikilah blog, dan sekali lagi, mari kita bicara !


Belajar Dari Harvard. Kembali cerita dari Wonogiri. Hari Sabtu 24/3/2007, terjadi big match di Manahan : Persis Solo vs Persebaya Surabaya. Saya tidak menonton. Esok paginya, di Minggu pagi itu saya melakukan ritus jalan kaki pagi. Saya memakai kaos ASSI dan tas punggung merah, Pasoepati. Mungkin atribut itulah yang membuat saya disapa oleh seseorang.

Orang itu adalah Yudi Winarno. Sarjana teknik yang pernah menjadi pengusaha mebel ekspor ini, adalah juga pentolan Pasoepati. Ia jauh-jauh dari Solo ke Wonogiri untuk memancing, dan saat itu saya pergoki sedang membeli umpan di Bauresan, bagian barat kota Wonogiri. Setelah mengobrol sana-sini, ia mengharap saya untuk sudi kembali aktif dalam Pasoepati. Saya jawab, bahwa setiap jaman baru butuh personil dan semangat baru. Biar orang-orang baru tampil ke depan.

Tetapi hati saya, kata saya selanjutnya, masih ada untuk Pasoepati. Dengan memutar badan, saya tunjukan logo di tas punggung saya, memajang tagline ciptaan saya : It’s Easy To Be Nice Guy. Follow Me, Follow Pasoepati. Saya agak lupa mengatakan bahwa saya juga masih jual kecap dan cuap-cuap di blog ini pula.

Akhirnya saya menanyakan hasil skor kemarin. Yudi menunjukkann tangan kanannya, dengan semua jari mengembang. Persis melumat Persebaya dengan skor : 5-0. Ketika saya membaca-baca koran di Perpustakaan Wonogiri, prestasi Persis itu disaksikan oleh sekitar 25.000 penggila sepakbola.

Apakah the glorious moment ini akan bisa berulang, tahun depan, 5 tahun lagi, atau 25 tahun lagi. Kemudian, apa arti kemenangan ini bagi Pasoepati setahun, 5 tahun, atau bahkan 25 tahun ke depan ?

Beberapa tahun lalu saya mengutip bukunya Al Ries dan Jack Trout, Positioning : The Battle For Your Mind (1982). Simaklah judulnya, betapa isi kepala kita menjadi medan peperangan pemasaran.

Sepuluh tahun lalu untuk hadiah ulang tahun saya ke 44, 24 Agustus 1997, saya di Jakarta membeli buku (foto) karya John Hagel III dan Arthur G. Armstrong. Hasil dari honor menulis artikel berjudul “Ancaman dan Peluang Masa Depan Internet” (Media Indonesia,7 dan 14 Agustus 1997). Dari judulnya, buku terbitan Harvard Business School Press (1997) ini jelas memfokuskan pentingnya komunitas maya sebagai medan laga peperangan pemasaran pula.

Intinya adalah memenangkan perang dalam pikiran, sebagaimana Perdana Menteri Inggris yang legendaris, Winston Churchill (1874-1965) ketika berbicara di Universitas Harvard, 6 September 1943, menegaskan bahwa kerajaan masa depan adalah kerajaan yang menguasai pikiran. The empires of the future are the empires of the mind.

Dengan memakai kombinasi ramuan intisari ke dua buku itu, maka momen menjelang pertandingan akbar Persis-Persebaya, selama pertandingan, dan sesudah pertandingan, sebenarnya telah terbuka bisnis-bisnis baru yang dapat kita eksploitasi. Dalam isi kepala, kemudian dibentangkan kesana-kemari sejauh kita memiliki imajinasi, baik di dunia nyata dan maya.

Ketika saya menjadi “menteri propaganda” dalam Pasoepati (2000-2001) satu hal yang saya pikirkan adalah bagaimana setiap orang di Solo membicarakan Pasoepati, dan bukan Pelita Solo, setiap hari. Setiap wong Solo yang di luar Solo harus mendengar tentang Pasoepati. Harus pula bangga dan mempromosikan Pasoepati. Termasuk di manca negara, seperti nampak syal Pasoepati mejeng di pintu gerbang stadion Philips milik PSV Eindhoven, Belanda. (foto : Broto Happy W.). Komunitas sepakbola Indonesia, harus pula dibuat penasaran, rasa ingin tahu, dan berminat terhadap Pasoepati. Sejarah kemudian mencatatnya.

Akibat dari aksi peperangan dalam pikiran itu, bukan hal yang baru sebenarnya, kurang lebih akan berdampak mirip dengan apa terjadi bagi Elvis Presley, John Lennon atau mungkin juga Chrisye, walau mereka sudah meninggal dunia, karya-karyanya tetap mengalirkan kenangan dan uang. Mirip amal jariah ? Di mana secara teoritis 25 ribu penonton pertandingan Persis-Persebaya saat itu, warga Solo, pencinta Persis Solo di mana pun di dunia ini, berpotensi kita sulap menjadi humas, pemasar sekaligus konsumennya pula.

We are the world. Kita adalah dunia, kata Michael Jackson dan kawan-kawan. Berkat Internet, kita pun mampu mendunia pula.

Gagasan inovatif :-) ini mungkin baru berpotensi dilirik tahun depan, ketika APBD dilarang untuk membiayai sebagian besar tim-tim sepakbola yang kini berlaga di Liga Indonesia. Atau baru sepuluh tahun ke depan. Tidak ada masalah.

Yang penting, seperti saya tulis di kolom surat pembaca harian Kompas Jawa Tengah (8 Februari 2007) bahwa kita harus berani mengucapkan selamat tinggal kepada sepakbola plat merah. Pola pencarian biaya model-model birokrat, harus pula diakhiri. Pencarian dana sepakbola selama ini, kalau tidak menyusu kepada APBD yang tanpa transparansi dan akuntabilitas, pastilah gagasan yang dangkal, dengan konsekuensi pasti membebani rakyat banyak. Seperti di Solo muncul wacana pungutan bagi semua warga yang disatukan saat penarikan rekening listrik dan air.

Kini tiba saatnya sepakbola dikelola secara profesional, sebagai bisnis. Kalau daerah atau pun pengelolanya tidak mampu, sebagai konsekuensi logis dan berdasar seleksi alamiah, maka klub bersangkutan harus dilikuidasi. Tantangan baru ini semoga justru memacu otak-otak brilyan untuk tampil ke depan, menggali solusi-solusi baru dan revolusioner yang tidak membebani rakyat.

Inovasi itu pasti ada, tetapi saat ini sulit terjangkau oleh mereka yang pola pikirnya selalu berpendekatan dari kacamata birokrat. Mengutip seorang motivator yang sering saya dengar di radio, Tanadi Santoso, bahwa para birokrat itu dan kita sendiri sering merasa aman seperti halnya perilaku burung dalam sangkar.

Sangkar yang sebenarnya sempit itu pula dunia kita. Sebab di sana kita masih bisa bebas berkicau, cukup makan dan minum, sekaligus cat biru di bagian atas dalam sangkar itu kita anggap sebagai langit dari dunia kita yang sebenarnya. .

Suporter sepakbola Indonesia, apa komentar Anda ? Saya tunggu !



Wonogiri, 1-3 April 2007

si

Labels: , , , , ,

"All that I know most surely about morality and obligations I owe to football"



(Albert Camus, 1913-1960)

Salam Kenal Dari Saya


Image hosted by Photobucket.com

Bambang Haryanto



("A lone wolf who loves to blog, to dream and to joke about his imperfect life")

Genre Baru Humor Indonesia

Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau, Buku humor politik karya Bambang Haryanto, terbit 2012. Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Semangkin Kacau Balau! Pengarang : Bambang Haryanto. Format : 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-97648-6-4. Jumlah halaman : 219. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : Februari 2012. Kategori : Humor Politik.

Judul buku : Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau ! Format: 13 x 20,5 cm. ISBN : 978-602-96413-7-0. Halaman: xxxii + 205. Harga : Rp 39.000,- Soft cover. Terbit : 24 November 2010. Kategori : Humor Politik.

Komentar Dari Pasar

  • “HAHAHA…bukumu apik tenan, mas. Oia, bukumu tak beli 8 buat gift pembicara dan doorprize :-D.” (Widiaji Indonesia, Yogyakarta, 3 Desember 2010 : 21.13.48).
  • “Mas, buku Komedikus Erektus mas Bambang ternyata dijual di TB Gramedia Bogor dgn Rp. 39.000. Saya tahu sekarang saat ngantar Gladys beli buku di Bogor. Salam. Happy. “ (Broto Happy W, Bogor : Kamis, 23/12/2010 : 16.59.35).
  • "Mas BH, klo isu yg baik tak kan mengalahkan isu jahat/korupsi spt Gayus yg dpt hadiah menginap gratis 20 th di htl prodeo.Smg Komedikus Erektus laris manis. Spt yg di Gramedia Pondok Indah Jaksel......banyak yg ngintip isinya (terlihat dari bungkus plastiknya yg mengelupas lebih dari 5 buku). Catatan dibuat 22-12-10." (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :21.30.05-via Facebook).
  • “Semoga otakku sesuai standar Sarlito agar segera tertawa ! “ (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.50.05).
  • “Siang ini aku mau beli buku utk kado istri yg ber-Hari Ibu, eh ketemu buku Bambang Haryanto Dagelan Rep Kacau Balau, tp baru baca hlm 203, sukses utk Anda ! (Bakhuri Jamaluddin, Tangerang : Rabu, 22/12/2010 :14.22.28).
  • “Buku Komedikus Erektusnya sdh aku terima. Keren, mantabz, smg sukses…Insya Allah, suatu saat kita bisa bersama lg di karya yang lain.” (Harris Cinnamon, Jakarta : 15 Desember 2010 : 20.26.46).
  • “Pak Bambang. Saya sudah baca bukunya: luar biasa sekali !!! Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kelanjutannya kalau masuk ke camp humor saya ? “ (Danny Septriadi,kolektor buku humor dan kartun manca negara, Jakarta, 11 Desember 2010, 09.25, via email).
  • “Mas, walau sdh tahu berita dari email, hari ini aq beli & baca buku Komedikus Erektus d Gramedia Solo. Selamat, mas ! Turut bangga, smoga ketularan nulis buku. Thx”. (Basnendar Heriprilosadoso, Solo, 9 Desember 2010 : 15.28.41).
  • Terima Kasih Untuk Atensi Anda

    Powered by Blogger
    and Blogger Templates